Anak STM ikut demo atau belajar aja?
- Idham Ghifari
- Oct 18, 2020
- 5 min read
Updated: Oct 19, 2020
Akhir akhir ini tertarik untuk mengikuti kabar beberapa demonstran yang diamankan oleh polisi setelah aksi unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja di sejumlah daerah 8 Oktober 2020 kemarin. Menariknya dari beberapa oknum yang diamankan polisi kemarin, banyak yang masih berstatus sebagai pelajar SMA dan SMP. Kabar tersebut cukup menarik perhatian dan menimbulkan pertanyaan “mengapa Sebagian oknum yang diduga sebagai pelaku kerusuhan dan perusakan fasilitas umum di berbagai daerah merupakan pelajar?”.
Kita tidak akan berbicara tentang detail Undang Undang yang dipermasalahkan, apalagi membahas tentang konspirasi dan tuduhan siapa dalang dibalik kerusuhan 8 oktober lalu. Ditulisan ini saya hanya ingin memberikan sudut pandang yang unik dan berbeda dari apa yang telah terjadi pada aksi kemarin. Ada banyak hal baru dan menarik yang dapat kita bahas pada aksi unjuk rasa akhir akhir ini, salah satunya adalah “pasukan STM” atau pelajar pada umumnya yang ikut turun jalan untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Fenomena ini sebenarnya baru terjadi beberapa tahun belakangan khususnya pada aksi September tahun kemarin yang juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Lalu, mengapa fenomena ini bisa terjadi?. Maraknya “anak sekolah” yang akhir akhir ini ikut membantu kakak – kakak mahasiswanya menjadi peserta aksi unjuk rasa, tak lepas dari meningkatnya kesadaran politik anak muda Indonesia dewasa ini. Salah satu faktor dari meningkatnya kesadaran dan kepedulian politik anak muda khususnya pelajar saat ini adalah sosial media. Informasi politik yang membanjiri timeline kebanyakan anak muda tersebut membuat mereka semakin tertarik untuk mengikuti perkembangan situasi politik negeri ini beberapa waktu lalu, khususnya pada kontroversi omnibus law kemarin. Akibatnya semakin banyak orang khususnya pelajar dengan mudah terus mengupdate informasi mengenai omnibus law tersebut. Hasilnya banyak elemen masyarakat yang sebelumnya tidak tertarik bahkan mungkin apatis dengan politik, tiba tiba ikut turun aksi Bersama mahasiswa dan buruh.
Layaknya dua sisi mata uang, ada aspek aspek yang harus dipertahankan bahkan dibangun untuk lebih baik kedepannya dan ada hal yang harus dikoreksi serta dibenahi dalam fenomena tersebut. Di satu sisi kita bersyukur karena tumbuhnya kesadaran politik dan kepedulian terhadap nasib bangsa ini di lingkungan pelajar dan masyarakat pada umumnya. Hal ini bisa kita telusuri pada sekitar 10 tahun kebelakang dimana tingkat kepedulian politik masyarakat cukup rendah dan Sebagian dari kita menyaksikan bahwa hanya mahasiswa serta elemen masyarakat lainnya yang memiliki idealisme tinggi lah yang paling lantang dan selalu konsisten menyuarakan aspirasi rakyat didepan para pejabat. Namun akhir – akhir ini semakin banyak masyarakat dan pelajar yang mulai ikut bersuara dan terus membela serta peduli dengan nasib bangsa ini. Salah satu faktor terbesarnya adalah semakin mudahnya pelajar dan masyarakat untuk mengakses informasi politik dari berbagai sumber. Faktor tersebut nampaknya berkontribusi besar bagi banyak individu untuk semakin paham bahwa semakin kita apatis dengan politik, semakin buruk nasib kita kedepannya. karena yang mengatur jalannya sistem bernegara di negeri ini akan diisi oleh orang orang yang rakus dan tidak peduli dengan nasib bangsanya sendiri.
Disisi lain fenomena ini menjadi pertanyaan bagi kita, apakah kebanyakan pelajar yang ikut serta dalam aksi unjuk rasa akhir akhir ini paham dengan apa yang mereka tuntut dan suarakan? Data yang dikeluarkan POLRI, setidaknya pihaknya telah menangkap sekitar 5.000 orang di berbagai daerah saat demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu. Menariknya, Pada 6-8 oktober polisi telah mengamankan 1.192 orang dimana 762 diantaranya merupakan pelajar dengan dugaan perbuatan perusakan fasilitas umum dan melawan aparat. Data tersebut nampaknya cukup membuat kita semakin yakin bahwa mereka belum benar benar menyuarakan aspirasi rakyat dengan benar. Apakah fakta tersebut juga ikut membuktikan sikap sinis sebagian masyarakat yang melihat tak sedikit peserta aksi yang hanya datang untuk membuat kerusuhan tanpa menghiraukan peserta aksi lain yang benar benar datang untuk menyurakan aspirasi rakyat, atau bahkan sebagian dari mereka hanya datang untuk terlihat eksis dan mendapatkan pengakuan di sosial media. Kekhawatiran itulah yang seharusnya dapat kita manage bersama sebagai bahan evaluasi kedepannya. Muncul narasi bahwa semua pelajar yang ikut dalam aksi demonstrasi akan dipersulit dalam mengurus SKCK dari kepolisian. Narasi itu sangat disayangkan oleh KPAI dan saya sendiri, karena tidak semua pelajar melakukan Tindakan kriminal dan menyuarakan pendapat adalah hak semua individu. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga menyayangkan hukuman bagi pelajar yang ikut demo bahkan ada yang sampai dikeluarkan dari sekolahnya. Menurut beliau pelajar yang peduli dengan bangsanya seharusnya diberikan fasilitas agar dapat berkontribusi dengan cara yang tepat.
Pada akhirnya kita sama sama mencari jalan tengah dari permasalahan yang ada. Saya sendiri melihat ini sebagai peluang. Kita memang tidak bisa menghindar dan menyalahkan kemajuan teknologi sebagai sumber informasi baru, khususnya bagi anak muda. Seperti yang sudah dijelaskan diatas tadi, Media sosial menjadi faktor terbesar meningkatnya kesadaran politik dewasa ini. Tantangannya adalah bagaimana caranya pelajar ini dapat mencerna dan mengimplementasikan informasi yang mereka dapat dengan baik?. Saya selalu menganalogikan media sosial sebagai sebuah mobil yang dibagikan kepada siapapun dari anak kecil hingga orang dewasa dengan berbagai kemudahannya tanpa memperdulikan apakah mereka dapat mengendarainya atau tidak. Celakanya juga tidak ada buku panduan yang diberikan untuk dapat membantu mengendarainya.
Oleh karena itu, untuk memastikan pelajar pelajar ini dapat menerima, memahami dan mengimplementasikan informasi khususnya bidang politik dari sosial media dengan baik adalah memfasilitasi mereka dengan memberikan pendampingan yang baik dari orang orang yang kompeten. Memang cukup aneh mendengar salah satu terobosan Pendidikan seperti ini dimana pelajar diberikan fasilitas Pendidikan politik. Namun menurut saya ini adalah salah satu cara untuk mengcounter kemajuan akses informasi yang ada saat ini, apalagi politik menjadi topik yang krusial dan berbahaya apabila seorang pelajar hanya mendapatkan informasi yang ada tanpa tahu kebenarannya. Sekolah sekolah di Indonesia khususnya tingkat SMA nampaknya sudah harus melihat bahwa semakin mudah akses informasi yang didapat oleh siswanya membuat sekolah harus bertransformasi dalam proses pembelajarannya.
Kenyataan saat ini, guru tidak lagi menjadi satu satunya sumber informasi bagi siswa. Oleh karena itu, ada fungsi tambahan dari Lembaga Pendidikan formal tersebut untuk menjadi fasilitator dan media diskusi yang baik dan nyaman bagi siswanya. Sekolah dapat menyediakan forum diskusi rutin bersama terutama dalam bidang Pendidikan dasar politik secara umum sebagai perluasan dari mata pelajaran PKN disekolah. Perlu diingat bukan politik praktis yang dipelajari namun lebih kepada politik sebagai sistem sebuah negara. Nantinya terobosan ini diharapkan menjadi fasilitator dari informasi yang didapat oleh siswa lalu mereka diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapannya dan pada akhirnya dikoreksi serta diluruskan dengan ilmu dan teori yang ada oleh mentor dari sekolah ataupun dari kemendikbud yang telah diseleksi sebelumnya dengan tetap mendapatkan pengawasan dari sekolah.
Sebagai tindak lanjutnya, fasilitas itu tidak hanya berfungsi sebagai wadah diskusi, namun juga dapat dikembangkan untuk mengasah kemampuan berpikir kritis siswa. Salah satunya diimplementasikan dengan mengadakan kompetisi debat dan diskusi oleh setiap dinas Pendidikan dan Lembaga lainnya serta memaksimalkan penilaian lomba pidato, yang tidak lagi dinilai dari Gerakan dan intonasinya saja namun juga dari isi yang ada didalamnya. Jauh kedepan, apabila nantinya mereka akan melanjutkan ke perguruan tinggi, mereka akan menjadi mahasiswa yang jauh lebih siap bersaing dengan skill individunya dan tak melupakan tugas lainnya sebagai mahasiswa untuk menjadi “control of power” serta menjadi tameng bagi rakyat Indonesia.
Fenomena meningkatnya kesadaran politik dewasa ini seharusnya membuat kita semakin fokus dengan substansi permasalahannya, bukan menjadikannya sebagai media eksistensi semata. Semoga kedepannya lebih diperbanyak lagi sharingnya ketimbang postingnya, paham dengan tuntutannya dan konsisten untuk menyuarakannya. HIDUP MAHASISWA! HIDUP RAKYAT INDONESIA!
Comments